Minggu, 23 November 2008

teknoLogi peRang yanga baruu . flash rusak eung !

PENDAHULUAN
Teknologi atau pertukangan memiliki lebih dari satu definisi. Salah satunya adalah pengembangan dan aplikasi dari alat, mesin, material dan proses yang menolong manusia menyelesaikan masalahnya. Sebagai aktivitas manusia, teknologi mulai sebelum sains dan teknik.
Kata teknologi sering menggambarkan penemuan dan alat yang menggunakan prinsip dan proses penemuan saintifik yang baru ditemukan. Akan tetapi, penemuan yang sangat lama seperti roda dapat disebut teknologi.
Definisi lainnya (digunakan dalam ekonomi) adalah teknologi dilihat dari status pengetahuan kita yang sekarang dalam bagaimana menggabungkan sumber daya untuk memproduksi produk yang diinginkan( dan pengetahuan kita tentang apa yang bisa diproduksi). Oleh karena itu, kita dapat melihat perubahan teknologi pada saat pengetahuan teknik kita meningkat.

KONDISI TEKNOLOGI PERANG INDONESIA SAAT INI
Pencabutan embargo militer oleh Amerika Serikat (AS) memunculkan kembali pertanyaan tentang pengembangan sistem persenjataan Indonesia. Sejak embargo diterapkan AS, Indonesia telah berupaya untuk melakukan diversifikasi sistem persenjataannya. Posisi akhir sistem persenjataan Indonesia di tahun 2004 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 173 jenis sistem persenjataan yang bersumber dari 17 negara produsen. Lima peringkat terbesar untuk sumber persenjataan Indonesia adalah Amerika Serikat (34%), Prancis (12%), Jerman (12%), Rusia (10%), dan Inggris (9%). Industri strategis demestik Indonesia hanya mempu memberikan kontribusi sebesar 5% dari seluruh jenis sistem persenjataan yang dimiliki oleh TNI.
Untuk periode 1999-2004, Indonesia memesan 21 jenis senjata dari delapan Negara produsen senjata dengan nilai impor senjata sebesar US$ 796 juta. Dari delapan Negara produsen ini, Rusia menjadi pemasok senjata terbesar US$ 274 juta, diikuti oleh Inggris (US$ 226 juta), Prancis (US$ 121 juta), Jerman (US$ 74 juta), Amerika Serikat (US$ 29 juta), dan Belanda (US$ 21 juta). Pemesanan tersebut sebagian besar dilakukan untuk melengkapi kebutuhan Angkatan Udara. Penambahan sistem persenjataan terjadi untuk beberapa jenis alutsista seperti helicopter jenis MI-35, helicopter NBO-105C, tank amfibi PT-76, kendaraan APC BTR-50P, serta pesawat tempur jenis Su-27SK, dan Su-MKI.
Diversifikasi persenjataan tersebut menimbulkan persoalan serius untuk sistem pengelolaan persenjataan Departemen Pertahanan. Keberadaan 173 jenis sistem persenjataan tentunya memperbesar biaya operasional, dan perawatan. Untuk sistem persenjataan jenis pesawat tempur, misalnya Indonesia, memiliki 87 pesawat tempur yang berasal dari tiga Negara, yaitu AS (34 pesawat), Inggris (49 pesawat), serta Rusia (4 pesawat). Sebanyak 87 pesawat tempur tersebut terdiri dari 8 jenis pesawat tempar F-16A Fighting Falcon, F-5E Tiger, Hawk Mk.209, Hawk Mk 53, A-4 E Skyhawk CAS, OV-10F Bronco Coin, Su-27SK, dan SU-30 MKI. Keberadaan 8 jenis pesawat tempur tersebut tentunya meningkatkan secara signifikan biaya-biaya operasional dan perawatan yang tergabung dalam biaya program pengadaan materiil.
Beban anggaran ini bisa dikurangi jika Departemen Pertahanan menginisiasi program efisiensi sistem persenjataan serta inovasi strategi pembelian senjata.
Efisiensi sistem persenjataan bisa dilakukan melalui tiga strategi. Pertama, diversifikasi jenis persenjataan dikurangi untuk menciptakan satu kerangka sistem persenjataan terpadu. Hal ini, misalnya, telah dilakukan AS dengan pengembangan pesawat tempur F35-JSF yang akan menggantikan seluruh jenis pesawat tempur yang dimilikinya.
Kedua, variasi sumber Negara produsen dikurangi untuk mendukung terciptanya sistem persenjataan terpadu. Hal ini tidak berarti Indonesia akan sepenuhnya bergantung ke satu Negara produsen namun bisa mencari satu kelompok Negara yang bekerjasama mengembangkan suatu teknologi persenjataan. Kerjasama tersebut, misalnya, tampak dari perusahaan-perusahaan Rusia yang membentuk kerjasama internasional dengan Prancis. Sistem elektronik dan evionik Prancis telah dipakai untuk pesawat tempur Su-30MKM yang dipesan oleh Malaysia. Sistem yang dikembangkan Prancis dan Israel juga telah digunakan pada pesawat tempur Su-30MKI yang dipesan India.
Ketiga, program pengembangan senjata yang semula diarahkan untuk program arms maintenance digeser menjadi program arms disposal dan arms buil-up. Program arms disposal harus dilakukan untuk mengurangi secara signifikan persenjataan yang tidak sesuai dengan rencana pengembangan sistem persenjataan dan juga persenjataan yang sudah jauh melampaui usia pakai. Program arms build-up dilakukan untuk mengisi kekosongan sistem persenjataan karena program arms disposal dan sekaligus memperkuat elemen postur pertahanan.
Inovasi sistem pembelian senjata diperlukan untuk memodifikasi pola akuisisi persenjataan Indonesia. Menurut Makmur Keliat (2005), dalam tiga dasawarsa terakhir Indonesia menghadapi tiga pola yang berbeda dalam melakukan akuisisi persenjataan. Pola pertama memiliki dua cirri, tidak adanya hambatan anggaran Negara yang signifikan dan hubungan yang sangat baik antara pemerintah Indonesia dan para produsen senjata utama internasional yang berasal dari Negara-negara maju. Pola ini umumnya terjadi ketika Indonesia mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi nasional yang cukup baik sepanjang tahun 1980-an.
Pola kedua ditandai oleh tidak adanya hambatan anggaran Negara yang, signifikan dan disertai tekanan politik dari Negara-negara maju, terutama dari AS dan Uni Eropa. Pola ini yang muncul setelah peristiwa Timor Timur I, 1991 dan terus berlangsung hingga krisis financial 1998 yang kemudian diperparah dengan embargo pasca peristiwa Timor Timur 1999 telah menyulitkan Indonesia untuk melakukan akuisisi karena embargo persenjataan oleh Negara-negara maju itu.
Pola ketiga ditandai oleh adanya kendala keuangan yang sangat serius yang dihadapi pemerintah dan tekanan politik yang msih terus diberlakukan oleh Negara-negara pemasok utama persenjataan internasional. Pola ketiga ini, yang mulai muncul sejak terjadinya krisis financial 1997, telah memaksa pemerintah untuk mengandalkan mekanisme pendanaan kredit ekspor untuk memenuhi kebutuhan persenjataan Indonesia. Penggunaan fasilitas kredit ekspor untuk akuisisi persenjataan memberikan beban tambahan kepada keuangan Negara terutama karena fasilitas kredit ekspor merupakan bentuk utang luar negeri yang memiliki tingkat suku bunga sangat tinggi, dengan waktu pengembalian yang sangat cepat.
Salah satu cara untuk melakukan inovasi sistem pembelian senjata adalah strategi offset. Pengertian ofset pada dasarnya mengacu pada pembelian atau investasi timbal balik yang disepakati oleh pemasok senjata sebagai imbalan dari kesepakatan yang dilakukan. Ada dua tipe ofset yang bisa diminta oleh Indonesia, yaitu licensed production dan co-production. Jika licensed production dipergunakan, Indonesia meminta Negara produsen untuk mentransfer teknologi kepada Indonesia sehingga sebagian dari kegiatan untuk memproduksi sistem persenjataan yang sedang dipesan itu dapat dilakukan di Indonesia. Jika co-production yang dipilih, Indonesia tidak hanya terlibat dalam kegiatan menghasilkan komponen peralatan militer yang tengah dipesan, tetapi juga terlibat untuk menghasilkan peralatan militer yang sama untuk memenuhi pesanan dari Negara produsen maupun memenuhi pesanan pasar internasional.
Bagi Indonesia, inovasi sistem pembelian senjata dilakukan untuk setidaknya mengurangi beban devisa dan efek-efeknya pada neraca pembayaran, serta menstimulasi perkembangan industri pertahanan domestic. Inovasi tersebut harus menjadi bagian dari mekanisme transisi pendanaan pengadaan persenjataan.
Mekanisme transisi ini harus secara komprehensif melihat korelasi antara rencana strategis pertahanan dan program pengembangan postur pertahanan. Alokasi anggaran penelitian dan pengembangan pertahanan, dan alokasi sumber daya untuk industri strategis pertahanan serta keberadaan sumber-sumber pendanaan luar negeri. Mekanisme transisi ini harus dapat secara jelas menjabarkan trajektori jangka menengah panjang yang secara gradual meningkatkan efisien dan kemandirian sistem persenjataan Indonesia.
Indonesia Fokuskan Kesetaraan Teknologi Pertahanan
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono mengatakan, Indonesia akan memfokuskan diri pada peningkatan kesetaraan teknologi pertahanan dibandingkan menambahkan jumlah alat utama sistem senjata (alutsista) menyusul turunnya anggaran pertahanan pada Tahun Anggaran (TA) 2009.
"Jadi, kita tidak akan fokus pada berapa pesawat tempur yang kita punya. Kita akan fokuskan pada peningkatan teknologi persenjataannya. Kalau Malaysia punya F18 Hornet, maka kita saingi kecanggihannya dengan Sukhoi dan sebagainya," katanya, di Jakarta Selasa.
Ditemui usai menjadi pembicara dalam seminar "Lingkungan Strategis 2008-2018 Implikasinya bagi Pertahanan Indonesia", Juwono menegaskan, bisa memahami langkah pemerintah yang lebih memprioritaskan pembangunan kesejahteraan rakyat dan pertumbuhan ekonomi sebagai upaya pengentasan kemiskinan.
Departemen Pertahanan dan Mabes TNI, katanya, tidak berkecil hati atas penurunan anggaran pertahanan dari Rp36,39 triliun pada APBN 2008 menjadi Rp35 triliun dalam RAPBN 2009 mengingat dua institusi itu telah terbiasa dihadapkan pada situasi dan kondisi minimum.
Oleh karena itu, Departemen Pertahanan dan Mabes TNI tidak akan melakukan revisi kecuali melanjutkan hingga masanya selesai secara efektif dan efisien.
Kabarnya Angkatan Udara Indonesia (AURI) pernah mencicipi kecanggihan perang elektronika dengan angkatan perang Amerika Serikat, yakni pada bulan Juli 2003 di atas perairan Bawean, dua pesawat tempur AS F-18 Hornet menghadang dua pesawat tempur TNI-AU F-16, dalam insiden tersebut kedua Hornet AS sempat akan menembak jatuh kedua F-16 TNI-AU. dimana pesawat AS sudah berhasil melock/mengunci target pesawat TNI tinggal menembak saja, beruntunglah F-16 berhasil menghindar dengan melakukan manuver diantaranya manuver rocking the wing(menggerak-gerakkan sayap) merupakan isyarat international tanda perdamaian, dimana sebelumnya juga pesawat AS melakukan serangan Jamming namun berhasil dicounter pesawat kita.

TEKNOLOGI PERANG NEGARA TETANGGA (MALAYSIA)
Apalagi yang hendak dibuat Malaysia terhadap kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)? Pembangunan helipad—tempat pendaratan helikopter militer Malaysia di Desa Tanjung Lokang Kalimantan Barat yang hanya berjarak tujuh meter dari titik batas negara, patut diwaspadai.
Pembangunan pangkalan helikopter itu bukan sekadar pelanggaran terhadap beberapa kesepakatan sebelumnya, dalam satu dekade terakhir, kita selalu dirugikan oleh ulah Malaysia, mulai dari cara mereka memperlakukan TKI/TKW kita yang katanya ilegal, dengan tidak manusiawi, hingga masalah illegal logging.
Rupanya negara kerajaan yang juga tetangga dekat Indonesia itu tidak puas mendapatkan Pulau Legitan dan Sipadan, kini mereka membangun helipad militer di kawasan perbatasan kedua negara, yakni di dekat Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) di Kabupaten Kapuas Hulu. Beberapa tahun lalu kita juga pernah bersitegang terkait pelanggaran di perairan Ambalat, Kalimantan Timur.
Helipad yang dibangun sekitar enam bulan lalu itu diduga kuat milik angkatan bersenjata atau militer Malaysia. Jaraknya dari patok batas kedua negara hanya tujuh meter saja. Artinya, dia hanya berjarak tujuh meter dari kawasan TNBK di Indonesia yang memang berada di kawasan perbatasan.
Helipad yang dibangun mirip pangkalan militer tersebut berada tepat di ujung Desa Tanjung Lokang, Kecamatan Kedamin, Kabupaten Kapuas Hulu.
Dari Putussibau—ibukota Kabupaten Kapuas Hulu, untuk menjangkau kawasan itu hanya bisa ditempuh lewat jalur sungai menggunakan speed boat. Bangsa kita yang hendak memasuki usia 64 tahun ini, kawasan itu baru bisa ditempuh menggunakan jalur sungai. Jalur darat yang diimpikan masyarakat untuk membuka isolasi daerah masih jauh dari harapan. Mungkin masih mimpi.
Negeri kita ini terlalu luas, maka daerah vital yang berbatasan langsung dengan Malaysia sungguh tidak tersentuh pembangunan. Perbatasan yang harusnya menjadi garda terdepan justru jadi beranda belakang republik ini. Malaysia betul-betul menjadi surga dunia bagi ekonomi masyarakat perbatasan. Barang murah, mencari kerja juga mudah. Sementara mereka menjarah kayu Indonesia di hutan kawasan perbatasan.
Bayangkan untuk mencapai Desa Tanjung Lokang di perbatasan itu, dari Kota Putussibau harus menempuh perjalanan selama tiga hari menggunakan speed boat lewat jalur Sungai Kapuas. Apalagi kalau dihitung dari ibukota provinsi, Kota Pontianak, maka jarak tempuhnya bisa satu minggu. Jarak tempuh Pontianak-Putussibau kurang lebih 600 kilometer. Kondisi jalan jelek seperti sekarang, perjalanan butuh waktu dua hari baru tiba di Putussibau, selanjutnya disambung dengan speed boat selama tiga hari baru sampai Tanjung Lokang.
Wajar kalau selama ini percurian kayu dengan menggunakan alat berat oleh warga Malaysia berjalan mulus, karena memang luput dari pantauan, baik aparat maupun masyarakat kita.
Pembangunan helipad itu sudah melanggar kesepakatan Indonesia-Malaysia yang tertuang dalam General Border Communittee (GBC) pada tahun 1971.
GBC Indonesia-Malaysia itu merupakan forum kerjasama perbatasan antara pemerintahan kedua negara. Di Indonesia, perwakilan di forum itu diketuai oleh panglima TNI. Kini jabatan ketua dipegang oleh Menteri Pertahanan RI, Juwono Sudarsono.
Forum ini sangat strategis, karena membahas isu dan permasalahan kedua negara yang meliputi masalah sosial, ekonomi dan pertahanan keamanan.
Sejak awal ada kesepakatan dalam forum itu menyangkut aktivitas sipil dan militer dalam radius dua kilometer dari titik batas harus ada pemberitahuan kepada negara tetangga. “Sementara helipad di perhuluan Tanjung Lokang itu jaraknya hanya tujuh meter, itu sudah pelanggaran,” tegas Sekretaris Komisi A DPRD Provinsi Kalimantan Barat, Zainuddin Isman di Pontianak, Selasa (10/6) lalu.
Malaysia sudah melanggar kesepakatan GBC, karenanya, pemerintah Indonesia harus minta penjelasan kepada Malaysia terkait pembangunan helipad tersebut. Apalagi itu sudah masuk radius atau zona aman dua kilometer bagi kedua negara.
Mencuri atau Perang
Aktivitas pencurian kayu secara besar-besaran di kawasan perbatasan terutama di wilayah dua taman nasional di Kapuas Hulu yakni Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) dan Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) berjalan mulus, karena selain didukung alat berat milik Malaysia, juga ada patroli udara yang dilakukan para cukong.
Makanya keberadaan helipad itu sangat strategis dalam hal mendukung operasional pencurian kayu yang melibatkan sekaligus memanfaatkan masyarakat Indonesia di perbatasan sebagai pekerjanya.
Patroli udara dengan helikopter tersebut untuk mencari kayu-kayu yang masih lebat. Patroli juga dilakukan untuk memonitor keberadaan pasukan Indonesia baik TNI Angkatan Darat muapun Kepolisian dan Dinas Kehutanan yang tergabung dalam operasi illegal logging.
Besar kemungkinan setiap pratroli yang dilakukan aparat keamanan Indonesia hasilnya selalu nihil, karena mereka mempunya alat yang lebih canggih untuk mengetahui kapan pratroli itu dilakukan. Kemungkiann patroli sudah bocor juga ada.
Selain helipad, kini ada temuan pembangunan jalan ilegal sepanjang 33,5 kilometer di sektor barat TNBK. “Helipad itu sengaja dibangun oleh sendikat pembalakan liar yang dibiayai cukong kayu Malaysia,” dugaan Zainuddin.
Dengan dibangunnya jalan selanjutnya ada helipad, jelas untuk mendukung upaya pencurian kayu di Indonesia yang sudah berlangsung lama. “Kalau tidak untuk mendukung kegiatan illegal logging, maka besar kemungkinan Malaysia sudah siap bila sewaktu-waktu perang dengan Indonesia. Mereka sudah siap dengan pertahanan di perbatasan,” kata politisi asal Kapuas Hulu itu.
Dan itu erat kaitannya dengan Askar Wataniah yang sempat menegangkan hubungan Indonesia-Malaysia beberapa waktu lalu. Soal Askar Wataniah atau angkatan yang mensenjatai rakyat sebagai pasukan bela negara itu bukan isapan jempol belaka. Itu benar adanya.
Bahkan saat heboh-hebohnya pemberitaan seputar Askar Wataniah, ada pengakuan salah seorang warga di Kabupaten Sintang, bahwa dirinya pernah tiga tahun menjadi Askar di Malaysia yang ditugaskan di kawasan perkebunan kepala sawit di perbatasan.
Malaysia selama empat bulan terakhir tercatat telah tiga kali melakukan pelanggaran wilayah udara di Kalbar yang berbatasan dengan Sarawak.
Panglima Kodam VI/Tanjungpura, Mayjend TNI Tono Suratman dalam Forum Komunikasi Penelitian dan Pengembangan (Litbang) di Rektorat Universitas Tanjungpura di Pontianak, Sabtu (17/5) bulan lalu mengatakan, pelanggaran tersebut terjadi bulan Maret 2008 dalam tiga hari berturut-turut.
Pelanggaran pertama tanggal 6 Maret 2008 sekitar pukul 15.00 WIB. Anggota Pos Pengamanan Perbatasan (Pamtas) Gun Tembawang Batalyon Infanteri (Yonif) 641/Bru di Desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau melihat sebuah helikopter jenis Bolco warna putih dan biru dengan senapan mesin (RPD) yang diperkirakan milik Polis Diraja Malaysia (PDRM) dengan penumpang empat orang melintas dari arah Barat ke Timur. Jarak terbang sekitar 150 meter dari Pos Pamtas Gun Tembawang.
Kemudian, pelanggaran kedua terjadi tanggal 7 Maret sekitar pukul 15.00 WIB. Helikopter yang sama melintas dari Selatan ke Utara tepat di atas Pos Pamtas Gun Tembawang dan mendarat di Kampung Gun Sapit, Padawan, Sarawak.
Pelanggaran ketiga terjadi tanggal 8 Maret 2008 sekitar pukul 10.55 WIB. Diduga helikopter yang sama melintas kembali dari Barat Daya ke Utara memutar dua kali.
Panjang perbatasan darat antara Indonesia - Malaysia mencapai 2.004 kilometer, terdiri dari Kalbar 857 kilometer dan Kaltim 1.147 kilometer.
Terdapat 5.784 patok batas di sepanjang perbatasan darat Kalbar - Malaysia. Namun, yang sudah dipatroli baru sebanyak 3.087 patok. "Sisanya belum," kata Tono Suratman.
Sebanyak 349 patok dinyatakan hilang, 53 rusak, empat patok patah dan dua patok tertimbun. Penyebabnya terutama faktor manusia seperti pencurian kayu menggunakan alat berat dan pengaruh alam akibat tanah longsor.

Tidak ada komentar: